KLT, Bukan Sekedar Analisis Kualitatif (bag.2)

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, disebutkan bahwa KLT dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Tapi dengan apa kuantisasi dapat dilakukan? Secara visual dengan mata? Tentu ini sangat subjektif dan sifatnya terkaan saja. Lalu dengan apa?


Ada sebuah alat yang dinamakan densitometer. Sepintas dari namanya, mungkin ada yang mengira bahwa alat ini berfungsi untuk mengukur densitas. Tapi ternyata bukan. Alat ini berfungsi untuk mengukur tingkat kepekatan/kekelaman atau intensitas warna yang terdapat pada suatu permukaan (bidang datar). Atau anda pernah mendengar instrumen yang namanya TLC scanner, alat pindai (scanning) plat KLT. Nah, itulah alat yang dimanfaatkan agar KLT dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Sepertinya di Kampus IPB Taman Kencana (Pusat Studi Biofarmaka) punya tuh. Untuk lebih jelasnya, silahkan konfirmasi ke Pak Agung Zaim.

Lalu bagaimana aplikasinya? Perlu dicatat bahwa spot harus tampak, entah memang senyawanya berwarna, atau penggunakan reagen penampak, atau disinari lampu UV (yang terintegrasi dalam TLC Scanner). Dan pada umumnya, standard dan sampel ditotolkan pada satu plat yang sama, karena lebih menjamin perlakuan yang homogen. Simak ilustrasi berikut sebagai kelanjutan dari tulisan bagian 1.

Pertama, perlu dibuat kurva standard terlebih dahulu menggunakan software KLT (misalnya TLsee). Gambar hasil scanning terhadap plat KLT, dimasukkan ke dalam software. Ketika masuk ke tahap kalibrasi atau pembuatan kurva standard, kita juga diminta untuk mengisi informasi, misalnya judul kalibrasi, nama sampel, dan juga eluen yang digunakan.


Selanjutnya, ketika muncul tampilan plat, silahkan anda blok masing-masing jalur (band) elusi dari setiap standard yang kelihatan spotnya. Anggaplah contoh berikut ini adalah analisis klorofil A. Perhatikan bahwa pada plat ada 3 spot standard klorofil A yaitu 10, 20, dan 40 ppm. Spot yang paling kanan adalah spot sampel daun, yang mengandung klorofil A dan B.

 Setelah kita blog jalur masing-masing standard, kita dapat tampilkan profil kromatogram dari ketiga standard tersebut. Jadi tidak hanya GC dan HPLC aja yang punya kromatogram, tapi KLT juga bisa dibuat kromatogramnya. Kira-kira standard mana ya, yang punya peak area (luas puncak) paling besar? Tentu saja standard ke-3. Mengapa demikian?

Telah kita singgung di bagian 1 bahwa standard yang pekat akan memiliki intensitas warna yang lebih besar. Dan prinsip pengukuran dengan TLC Scanner adalah berdasarkan intensitas warnanya. Selanjutnya jangan lupa untuk melengkapi data kromatogram tersebut dengan memasukkan informasi tentang konsentrasi standard yang dipakai.


Lalu tampilkan kurva standardnya. Maka akan muncul tampilan seperti berikut. Kurva standard akan muncul dan dilengkapi informasi persamaan garisnya menurut regresi linier. Setelah itu dapat anda lanjutkan dengan analisis terhadap spot sampel pada plat yang sama. Caranya sama saja, tinggal blok saja jalur/band dari elusi sampel. Berhubung sampel punya 2 spot, maka akan muncul juga 2 kromatogram.

Tapi manakah yang kita analisis? Tentu saja spot yang Rf-nya sama dengan Rf standard. Langkah selanjutnya, tinggal integrasikan saja luas puncak kromatogram tersebut. Maka akan muncul nilai luas puncak beserta konsentrasinya. Mudah kan? Jadi KLT memang bukan sekedar analisis kualitatif, tapi juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif.

Untuk mendownload software TLsee, silahkan klik di sini.
Selamat Belajar :)

KLT, Bukan Sekedar Analisis Kualitatif (bag.1)

Retardaction factor, alias Rf, adalah sesuatu yang menjadi target mahasiswa dalam suatu praktikum KLT. Rf analog dengan waktu retensi pada GC atau HPLC, yang menunjukkan ketertahanan senyawa pada fasa diam. Rf diperoleh dari perbandingan jarak tempuh spot senyawa terhadap jarak tempuh eluen pada plat KLT. Rf inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang khas dan menjadi identitas dari suatu senyawa, oleh karena itu biasa dijadikan patokan dalam analisis kualitatif.

Mungkin selama ini pemanfaatan KLT baru sebatas itu, paling tidak itu yang terjadi pada sebagian mahasiswa, membandingkan spot-spot yang dihasilkan oleh sampel terhadap spot standard. Kalau ada spot yang Rf-nya sama dengan Rf standard, berarti sampel tadi “diduga” mengandung senyawa yang sama dengan standard. Tapi jangan berhenti sampai disini !


Anda pernah melihat pipa kapiler yang ada ukuran volumenya, untuk menotolkan sampel pada plat KLT? Atau sejenis pipet mikro yang biasa digunakan untuk mengambil sampel dengan volume yang sangat kecil. Ya, itu adalah salah satu komponen penting dalam pemanfaatan KLT lebih jauh.

Dengan mengetahui ukuran pipa kapiler atau pipet mikro, kita akan tahu kuantitas standard. Misalnya kita buat larutan standard terlebih dahulu dengan konsentrasi 1000 ppm, atau 1000 mg/L atau 1000 μg/mL atau 1000 ng/µL. Bingung? Jangan bingung, ini hanya konversi sederhana.

Sekarang kita berandai-andai punya pipa kapiler berukuran 2 µL. Kalau kita ambil larutan standard dengan pipa kapiler sebanyak satu kali, lalu kita totolkan pada plat KLT, berapa ng berat standard yang ada pada plat? 2000 ng bukan? Atau 2 μg.
Perhatikan bahwa makna 1 totol di sini adalah 1 pipa kapiler terisi penuh lalu kita totolkan sampai habis pada plat KLT.

Mari berandai-andai lebih jauh. Kalau kita punya standard klorofil 1000 ppm, kemudian kita totolkan dengan pipa kapiler 2 µL sebanyak 5 kali, berapa berat standard yang ada pada plat? Ya tinggal dikalikan aja, 2000 ng kali 5 jadi 10000 ng atau 10 μg. Lalu disebelahnya kita totolkan sebanyak 10 kali, jadi ada 20 µg. Dan di sebelahnya lagi kita totolkan 20 kali, jadi ada 40 μg. Jadi kita akan punya 3 spot standard yaitu spot 10 μg, 20 μg, dan 40 μg. Kira-kira apakah intensitas warnanya akan sama? Owh, tentu tidak. Menurut logika yang masih sehat, intensitas warnanya kurang lebih akan proporsional dengan kuantitas (berat) standard. Jadi perbandingan intensitas warnanya kurang lebih 1 : 2 : 4.

Mulai terbayang kan? Kira-kira bisa gak KLT digunakan untuk analisis kuantitatif? Sepertinya bisa, kan kolorimetri visual juga bisa digunakan untuk analisis kuantitatif, dasarnya juga mirip yaitu intensitas warna.

bersambung …

Tasyahud-nya lebih banyak dari Raka’atnya

Adakah shalat dengan kondisi seperti judul di atas? Bagi anda yang rutin shalat berjamaah, mungkin pernah “mengalami” shalat tersebut. Tapi shalat apakah itu? Berapa Raka’atnya? Berapa tasyahudnya? Bukankah kita sejak kecil sudah diajari bahwa tasyahud itu ada tasyahud awal dan tasyahud akhir. Benar, dalam kondisi “normal”, tasyahud hanya sekali untuk shalat 2 raka’at, dan 2 kali untuk shalat 3 atau 4 raka’at.
Lalu adakah shalat dengan kondisi tidak normal? Ada, kondisi tidak normal yang dimaksud di sini adalah kondisi tertinggal bagi si makmum, atau istilah gaulnya makmum masbuq. Jika kita tertinggal dalam shalat berjamaah, kita harus berpatokan pada sabda Rasulullah saw. :’Apa yang kamu dapati ikutilah dan apa yang tidak didapati sempurnakanlah.’ (Riwayat Muslim)
Jadi kurang tepat apabila kita tertinggal, kita menunggu imam berdiri untuk raka’at berikutnya, baru kita ikuti. Yang tepat adalah kita langsung ber-takbiratul ihram lalu ikuti imam apapun kondisinya, entah ruku’, sujud, atau yang lainnya.
Dengan kondisi tidak normal tersebut, shalat kita jadi “berbeda” dengan shalat-nya imam. Misalnya kalau kita tertinggal dalam shalat subuh hingga kita hanya mendapatkan satu raka’at saja, maka kita pasti akan melakukan 2 kali tasyahud padahal imam hanya tasyahud 1 kali. Apakah yang kita lakukan sudah benar? Demikianlah adanya sesuai dengan bagian kedua dari potongan hadits di atas, ” …dan apa yang tidak didapati, sempurnakanlah”. Jadi yang kita lakukan sebenarnya adalah menyempurnakan 1 raka’at yang kurang dan pasti sebelum salam ada tasyahud lagi.
Sebelum kita jawab teka-teki di atas, saya sebutkan contoh lain. Ada makmum masbuq dalam shalat isya’. Dia mendapati imam berada pada rakaat kedua, lalu dia ikuti. Bagi si makmum, itu adalah raka’at pertama. Ketika imam tasyahud awal, tentu dia ikut. Pada raka’at ketiga, dia juga ikuti imam dan ini adalah raka’at kedua bagi si makmum. Ketika imam masuk raka’at keempat, si makmum masbuq juga ikut dan tentunya juga ikut tasyahud akhir. Ketika imam salam, apa yang harus dilakukan si makmum masbuq? Apakah dia melanjutkan memasuki rakaat kedua dan bertasyahud awal? Bukankah tadi dia tasyahud pada raka’at 1 dan 3? Ataukah dia ikut salam, lalu dia lanjutkan sendiri ke raka’at kedua untuk tasyahud awal? Tentu ini lebih konyol.
Mengacu pada hadits tadi, si makmum masbuq hanya tertinggal satu raka’at, maka tinggal menyempurnakan saja dengan melanjutkan satu raka’at, kemudian tasyahud akhir lalu salam. Apakah shalat makmum dan imam berbeda? Sepintas berbeda. Imam ber-tasyahud di raka’at 2 dan 4, makmum masbuq tadi bertasyahud di raka’at 1, 3, dan 4.
Lalu shalat apakah gerangan yang tasyahud-nya lebih banyak daripada jumlah raka’atnya? Pernahkah anda tertinggal shalat maghrib berjamaah kemudian anda dapati imam bangkit (i’tidal) dari ruku’ atau dalam kondisi sujud pada raka’at kedua. Apa yang anda lakukan? Apakah menunggu imam bangkit ke raka’at ketiga, baru anda ikut? Tentu ini tidak sesuai sunnah. Yang tepat adalah anda langsung ikut, entah itu i’tidal ataupun sujud pada raka’at kedua meskipun bagi anda hal itu tidak terhitung sebagai satu raka’at. Dan tentunya pada raka’at tersebut, anda ikut imam bertasyahud awal. Kemudian ketika imam melanjutkan ke raka’at ketiga, tentu anda ikuti, dan anda ikut tasyahud lagi. Berapa kali anda sudah bertasyahud? 2 kali. Berapa Raka’at yang anda dapatkan? 1 raka’at. Kemudian ketika imam salam, bagaimana dengan anda? Mau ikut salam? Bisa jadi kalau anda bingung, tapi tentunya ini salah.
Yang pasti anda baru dapat 1 raka’at, alias kurang 2 raka’at. Maka lanjutkanlah ke raka’at kedua. Apakah pada raka’at tersebut ada tasyahud? Ya, ada. Tasyahud awal, karena itu adalah raka’at kedua bagi anda. Sudah berapa kali andabertasyahud? 3 kali.
Tinggal lanjutkan raka’at ketiga, dan sebelum salam itulah tasyahud keempat. Inilah satu-satunya shalat dengan kondisi “tidak normal” yang mengakibatkan tasyahudnya lebih banyak daripada bilangan raka’atnya.
Untuk pembahasan lebih lanjut, anda bisa klik di sini.
Mari kita hidupkan syi’ar shalat berjama’ah di masjid.

GC, Pemisahan berdasarkan Titik Didih?

Ada yang beranggapan bahwa kromatografi gas/gas chromatography (GC) merupakan metode analisis & pemisahan berdasarkan perbedaan titik didih. Kalau seperti itu halnya, mengapa tidak menggunakan distilasi saja?
Jadi apakah anggapan tersebut salah? Tidak sepenuhnya salah. Memang titik didih merupakan salah satu faktor penting dalam pemisahan menggunakan GC. Tapi perlu kiranya kita merujuk pada yang lebih faham tentang hal tersebut. Tidak usah jauh-jauh membuka Modern Analytical Chemistry-nya David Harvey yang bukunya tebal itu, buku tipisnya Prof. Hardjono yang berjudul Kromatografi kiranya cukup untuk menjawabnya. Mari kita simak.
Pada hal.46 Prof.Hardjono menyatakan :
“Kromatografi merupakan cara pemisahan yang mendasarkan partisi cuplikan antara fasa bergerak dan fasa diam”
Berbeda kan dengan distilasi? Dalam distilasi jelas tidak melibatkan fasa diam dan fasa gerak apalagi partisi, yang ada hanya panas dan pengaturan suhu. Lantas mengapa dinamakan GC? Tidak lain dan tidak bukan karena fasa geraknya berupa gas. Lalu bagaimana dengan fasa diamnya?
Pada halaman berikutnya, Prof.Hardjono menyebutkan :
“Kita mengetahui bahwa ada dua jenis dari Kromatografi gas, yaitu :
  1. Kromatografi padatan gas (G.S.C)
  2. Kromatografi cairan gas (G.L.C)
Dalam kedua hal ini sebagai fasa gerak adalah gas (hingga keduanya disebut kromatografi gas), tetapi fasa diamnya berbeda. Meskipun demikian kedua cara tersebut mempunyai banyak persamaan. Perbedaan yang ada adalah hanya tentang cara kerja.
Pada G.S.C kita mempunyai adsorpsi (absorpsi) dan dalam GLC kita mempunyai partisi (larutan).”
Terjawab sudah kan bahwa dasar pemisahan pada GC bukan (hanya) perbedaan titik didih.
Untuk pembahasan lebih detail, kita lanjutkan di lain waktu. Selamat belajar, yakinlah kimia itu mudah.