Allah telah menyanjung akhlak –yang pada
dasarnya merupakan ketaatan dan menjadi sebab ketaatan – sebagi bagian
dari agama, bahkan ia adalah agama itu sendiri.
Allah Ta’ala telah memuji nabi Muhammad sallalahu alaihi wa sallam yang berakhlak mulia, sebagaiamana firman-Nya, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Ibnu Abas radhiallahu anhuma menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah Islam. Beliau berkata, “Yakni sesungguhnya engkau (Muhammad) dalam agama yang agung yaitu islam.” (HR. ath-Thabari dalam tafsirnya, 12/179)
Yang benar adalah tidak bahwa akhlak
tidak terlepas dari agama. Fairuzabadi dalam kitabnya Bashair Dzawi
At-Tamyiz, 2/568 mengatakan, ”Ketahuilah bahwa agama seluruhnya adalah
akhlak. Siapa yang bertambah akhlaknya, maka bertambahlah agama pada
diri anda.”
Di antara yang tidak meragukan lagi,
adanya keterkaitan kuat antara akidah dengan prilaku dan akhlak baik
dari sisi negative maupun positif. Hal itu akan jelas dalam pembahasan
berikut ini:
1. Sesungguhnya seorang muslim yang
meyakini bahwa Allah mendengar dan melihat serta memperhatikan yang
tersembunyi. Jika kuat pada sisi ini, maka dia tidak akan berakhlak dan
melakukan perbuatan yang dapat melemahkan keyakinannya pada masalah ini.
Yang menunjukkan akan hal itu adalah sebagai berikut,
Firman Allah, artinya, “Dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisaa: 128)
Artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata)
atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q. An-Nisaa: 135)
Artinya, “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.” (QS. An-Nisaa: 58)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. at-Tirmizi, 1162 dan Abu Daud, 4682, dia mengatakan, haditsnya hasan shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, “Telah diketahui bahwa makhluk yang paling dicintai adalah
orang mukmin. Kalau dia paling sempurna imannya, maka paling baik
akhlaknya. Maka yang paling besar dicintai-Nya adalah yang paling bagus
akhlaknya. Akhlak adalah agama sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Ibnu Abbas
mengatakan, mempunyai agama nan agung. Begitu juga Soyan bin Uyainah dan
Ahmad bin Hanbal menafsirkan seperti itu dan selain dari keduanya.
Sebagaimana yang telah kami jelaskan selain di tempat ini.
(Al-Istiqamah, 442)
Al-Mubarakfuri rahimahulah
mengatakan, “Perkataan ‘Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah
yang terbaik akhlaknya’ kata ‘Kholqun atau Khuluqun’ dengan didhomma dan
disukun huruf lamnya. Karena kesempurnaan iman, mengharuskan berbudi
pekerti baik dan berbuat baik kepada seluruh orang.” (Tuhfatul Ahwadzi,
4/273)
3. Sesungguhnya kekuatan keimanan
mendorong untuk melakukan amal shalih dan menahan diri dari daki
kemaksiatan dan dosa-dosa. Yang menunjukkan akan hal itu adalah, hadits
dari Abu Hurairah sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam
bersabda, “Tidaklah orang yang berzina ketika melakukan perzinaan
dia dalam kondisi beriman. Dan tidaklah pencuri ketika dia mencuri dia
dalam kondisi beriman. Tidak juga peminum (khamar) ketika dia meminum
dalam kondisi beriman.” (HR. Bukhari, no. 2334 dan Muslim, 57)
Dan dari Abu Suraikh sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi
Allah belum beriman (secara sempurna), demi Allah belum beriman, demi
Allah belum beriman. Beliau melanjutkan, “Orang yang tetangganya tidak
aman dari gangguannya.” (HR. al-Bukhari, no. 5670)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma sesungguhnya Rasulullah sallallahu alihi wa sallam melewati seseorang dari kalangan Anshar, dia menasehati saudaranya tentang rasa malu. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dia, karena rasa malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. al-Bukhari, no. 24 dan Muslim, no. 36)
Malik bin Dinar rahimahullah,
dia berkata, “Iman itu tampak lemah dan kecil di dalam seperti tunas
tumbuhan. Jika pemiliknya memperhatikannya dan menyiram dengan ilmu
bermanfaat dan amal saleh serta menyingkirkan belukar dan apa yang
melemahkannya, maka dia akan tumbuh dan terus berkembang. Sehingga dia
menjadi induk, cabang, buah dan naungan tanpa ada batasnya sampai
seperti gunung. Kalau pemiliknya membiarkan tanpa diperhatikan, maka
akan datang seekor kambing yang memakannya atau anak kecil yang
mengambilnya. Kalau semakin banyak belukarnya, maka akan melemahkan,
membinasakan atau membuatnya kering. Begitulah keimanan.”
Khaitsamah bin Abdurrahman berkata,
“Keimanan akan menjadi gemuk di tempat subur dan akan kurus di tempat
kering. Tempat suburnya adalah dengan beramal saleh sementara tempat
keringnya adalah dosa dan kemaksiatan,” (Dikutip dari Ibnu Taimiyah,
kitab Al-Iman, hal. 213)
4. Beriman dengan qadha dan takdir Allah
dapat menghalangi akhlak jelek dan kemaksiatan. Karena agama sangat
memperingatkan dan mengancam perbuatan tersebut, seperti histeris,
menyobek baju, mencambak rambut dan berteriak-teriak (Niyahah).
Sebaliknya, keimanan mengajak pemiliknya untuk mempunyai akhlak (mulia)
yang agung, seperti sabar, ridha dan mengharap pahala.
Dari Suhaib Ar-Rumi radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ
إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلا لِلْمُؤْمِنِ
، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ، وَإِنْ
أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ (رواه مسلم، رواه 2999
)
“Sangat mengherankan urusan orang
mukmin, sesungguhnya semua urusannya itu baik. Hal itu tidak ada
melainkan untuk orang mukmin. Jika ditimpa kebaikan, maka dia bersyukur
dan hal itu baik untuknya. Jika ditimpa keburukan, dia bersabar. Dan hal
itu baik untuknya.” (HR. Muslim, no. 2999)
Dalam sunan Abu Daud, 47010, Ubadah bin
Shamit menasehati anaknya, “Wahai anakku, sesungguhnya engkau belum
mendapatkan hakikat keimanan sebelum engkau meyakinin bahwa apa yang
(ditakdirkan akan) menimpamu tidak akan meleset. Dan apa yang
(ditakdirkan akan) meleset darimu tidak akan menimpamu . Aku mendengar
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ
اللَّهُ الْقَلَمَ ، فَقَالَ لَهُ : اكْتُبْ !! قَالَ : رَبِّ ، وَمَاذَا
أَكْتُبُ ؟!! قَالَ : اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ
السَّاعَةُ !! يَا بُنَيَّ ، إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا
فَلَيْسَ مِنِّي !! (صححه الألباني)
“Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Lalu
Dia berkepada kepadanya; “Tulislah!. Berkata (pena), “Wahai Tuhanku apa
yang akan aku tulis?” Berkata (Allah), “Tulislah takdir segala sesuatu
sampai hari kiamat.”
(Ubadah bin Shamit berkata), “Wahai anakku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah sallalahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dunia tidak (berkeyakinan seperti ini) maka dia bukan dari (golonganku).” (Dishahihkan oleh Al-Albani)
5. Sesungguhnya agama banyak
menganjurkan ketaatan dan menekankan adanya kaitan dengan keimanannya
kepada Allah dan hari akhir. Begitu pula agama mengharamkan kemaksiatan
dan (dosa) yang dapat menjerumuskannya pada pengingkaran terhadap
keimanan kepada Allah dan hari kiamat. Yang menunjukkan akan hal itu
adalah:
a. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti
tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka
hendaknya dia menghormati tamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata baik atau diam.” (HR. al-Bukhari, no. 5672 dan Muslim, no. 47)
b. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
dibolehkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
melakukan safar sejauh tiga mil (atau lebih), kecuali dia bersama
mahramnya.” (HR. al-Bukhari, no. 106, Muslim, no. 1338 dan redaksi darinya)
c. Dari Ummu Habibah radhiallahu anha berkata, aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berkabung lebih dari tiga hari kecuali untuk suaminya, (yaitu) empat
bulan sepuluh hari.” (HR. al-Bukhari, no. 1221 dan Muslim, no. 1486)
6. Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam
telah menjelaskan dalam sunnahnya, bahwa rusaknya keyakinan –seperti
kenifakan- menjurus kepada kerusakan akhlak dan amal. Dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tanda
orang munafik itu ada tiga, ketika berbicara berbohong, ketika berjanji
tidak ditepati dan ketika diberi amanah dikhianati.” (HR. Bukhari, no. 33 dan Muslim, no. 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Orang yang menyalahi ahli hadits, mereka
kemungkinan akan rusak amalnya. Baik karena keyakinan jelek dan
kenifakan atau karena penyakit hati dan lemah imannya. Di antara mereka
ada yang meninggalkan kewajiban dan melanggar aturan serta meremehkan
hak-hak dan kerasnya hati yang tampak oleh setiap orang. Kebanyakan guru
mereka dituduh (dengan melakukan) sesuatu yang besar. Meskipun di
antara mereka terkenal dengan zuhud dan ibadahnya. Dalam kezuhudan dan
ibadahnya sebagian orang awam dari kalangan ahlus sunnah itu lebih bagus
daripada apa yang ada padanya.
Telah diketahui bahwa ilmu itu merupakan
landasan amal, keabsahan asal mengharuskan keabsahan cabang. Seseorang
tidak akan mengalami kerusakan amal kecuali karena dua hal; karena
kebutuhan atau ketidaktahuan (bodoh). Orang yang mengetahui buruknya
sesuatu dan tidak memerlukannya, tidak akan melakukannya. Kecuali kalau
hawa nafsunya mengalahkan akalnya, dan telah dikuassi kemaksiatan. Dan
hal itu merupakan bentuk dan macam lain lagi.” (Majmu’ Fatawa, 4/53)
Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar
memperbaiki urusan kita semua. Dan diberi petunjuk ucapan, perbuan dan
akhlak yang terbaik.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar